Selamat Datang Di Coretan Putra Aceh,

Saturday 2 July 2016

Pusat Telepon Pertama di Indonesia Ada di Banda Aceh


pernah lihat gedung ini? nah Gedung bekas sentra telepon Belanda ini sekarang menjadi situs cagar budaya di Banda Aceh.
GEDUNG pusat telepon militer Belanda di pangkal Jalan Teuku Umar, Kota Banda Aceh bukan sebatas memiliki arsitektur unik. Tapi memiliki sejarah panjang, karena konon inilah sentra telepon pertama yang dibangun pemerintah kolonial di Hindia Belanda (Indonesia sekarang).
Menurut sejarah pusat telepon ini dibangun tahun 1903, setelah Belanda berhasil menguasai Istana Kerajaan Aceh.

Angka 1903 juga tertera di bagian atas dinding luar bangunan, tepat di atas pintu masuk atau dekat ventilasi jendela, yang diyakini merujuk pada tahun bangunan ini dibuat.

Dalam literatur sejarah disebutkan Belanda mengeluarkan maklumat perang terhadap Kerajaan Aceh pada 26 Maret 1873.
Dalam agresi pertama, Belanda kalah telak karena dalam pertempuran di Masjid Raya Baiturrahman, pemimpin perangnya, Major Jenderal JHR Kohler tewas ditangan pasukan Aceh.
Mereka kemudian melancarkan agresi kedua dengan kekuatan lebih besar, dan berhasil merebut Masjid Baiturrahman serta Darul Dunia atau komplek Istana Kerajaan Aceh Darussalam.
Mereka kemudian menjadikan Koetaradja (nama Banda Aceh masa penjajahan Belanda, red) sebagai pusat pemerintahannya. Dibangunlah pusat teleponnya di area komplek istana Kerajaan Aceh yang sudah mereka kuasai.
Gedung ini sentra telepon pertama yang dibangun Pemerintah Belanda di wilayah Hindia Belanda. Sejak adanya pusat telepon ini, komunikasi jarak jauh Belanda yang semula mengandalkan telegraf beralih ke telepon.

Jaringan teleponnya tembus ke berbagai daerah sasaran pengerahan pasukan Belanda. Mulai dari Ulee Lheu, Sabang, Lamno, Meulaboh, Seulimum, Sigli, Bireun, Takengon, Lhokseumawe, Lhoksukon, Idi, Peurlak, Kuala Simpang hingga beberapa kota di Sumatera Utara seperti Medan, Tanjung Pura, Rantau Prapat, Berastagi dan Asahan.
Dalam lembaran Telefoogids complex Koetaradja alias buku petunjuk telepon yang diterbitkan Belanda pada 20 April 1933, disebutkan, tarif percakapan telepon antar kota dihitung berdasarkan tiga menit percakapan.
Sentral telepon ini sangat membantu Gubernur Militer Hindia Belanda dalam berkomunikasi dan menghadapi serangan pasukan Aceh di berbagai daerah kala itu.
Dalam buku Banda Aceh Heritage; Jalur Jejak Budaya dan Tsunami, Kamal A. Arif dan Salmawaty menulis, “adakalanya gubernur mencabut kabel telepon karena seringnya mendapat kabar serangan dari pejuang Aceh terhadap pasukannya di lapangan.”
Setelah Belanda angkat kaki dari Aceh, Jepang kemudian masuk dan memanfaatkan sentral telepon ini sebagai sarana komunikasinya.
Selepas Indonesia merdeka, bangunan ini juga tak terlantar karena sempat dijadikan kantor telepon Kodam I Iskandar Muda.
Pernah juga dimanfaatkan sebagai kantor Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Aceh, kemudian kantor redaksi surat kabar Atjeh Post, sebelum dijadikan Kantor PSSI Aceh.
Gedung bekas sentra telepon Belanda ini sekarang menjadi situs cagar budaya di Banda Aceh. Di bawah pengawasan langsung Balai Pelestarian Cagar Budaya

No comments: